Tampilkan postingan dengan label tausiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tausiyah. Tampilkan semua postingan

30 Maret, 2008

Maksiat kepada Allah swt

Pagi itu ana mencek beberapa komputer disebuah warnet. Ana memeriksa apakah sudah ada virus yang beranak pinak disana. Atau jika tidak, mungkin saja ada proses sistem yang berjalan tidak baik. Ditengah keasyikan memeriksa komputer-komputer tersebut ana diminta tolong oleh seseorang (yg dikenal) untuk diajarkan cara mengkonversi file dari satu format ke format lain. Dengan senang hati, ana ajarkan langkah-langkah yang diperlukan untuk itu. Setelah ana ajarkan, akhirnya beliau meminta untuk dikonversikan salah satu file. Ana minta file yang dikonversi tersebut tidak lah file yang terlalu besar agar waktu yang digunakan tidak terlalu lama. File yang dikonversi tersebut akhirnya diambil dari salah satu file yang ada di Flash disk. File selesai di konversi. Ana coba menunjukkan hasil dari konversi tersebut dengan mencoba menjalankan file hasil tersebut. Namun,......... Innalillahi wa innailaihi raji'un. Astaghfirullahal'adzim. Ana tak tahu apa lagi yang mesti diucapkan tatkala terlintas sedikit video apa yang telah dikonversi tersebut. Ya Allah, hamba mengajarkan sesuatu ilmu yang hamba miliki bukanlah untuk mendurhakai Engkau. Dengan hati gemetar ana langsung menutup video tersebut dan berusaha mulai menjauh dari sang 'anak didik' dengan mulai berbicara tanpa banyak berkomentar lagi. Walaupun ana ketahui, ada sedikit perubahan yang terjadi dari raut muka sang 'anak didik' tatkala ana mulai sedikit menjauh. Dengan alasan hendak ke kampus pagi ini, ana langsung ngeloyor pergi.
Ada kesedihan yang mengalir dalam jiwa ini tatkala mengingat kembali kejadian pagi hari tersebut. Ana paham betul tentang kondisi kuliah seseorang yang minta tolong diajarkan cara konversi format video tadi. Yah, belum tamat lantaran masih terkendala masalah kuliah dan nilainya. Alasan yang terkadang menjadikan mahasiswa menjadi uring-uringan. Sedih, lantaran ada banyak kasus seperti ini yang ana ketahui. Mahasiswa atau orang-orang umum sekalipun lebih sering lari dari masalah yang mereka hadapi dengan melakukan hal-hal yang bersifat maksiat kepada Allah swt. Adakah mereka tahu bahwa Allah lah sebenarnya yang mesti mereka dekat. Tidak dengan melarikan diri

baca lanjutannya..

15 Maret, 2008

Surat Al Baqarah ayat 267-268

Bismillahirrahmanirrahiim,
Dalam surat Al Baqarah ayat 267-268 Allah Swt berfirman : " Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha kaya, Maha terpuji.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir) sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Maha luas, Maha Mengetahui."
Ayat ini memberikan pemahaman kepada orang-orang beriman akan hakikat sebuah infak dan sedekah yang dikeluarkan oleh mereka dalam menggapai keridhaan Allah swt. Mereka diperintahkan untuk mengeluarkan infak dari rezeki yang Allah swt berikan kepada mereka berupa hasil usaha yang baik-baik.

baca lanjutannya..

07 Maret, 2008

Simaklah kisah mereka

Simaklah kisah para sahabat Rasulullah SAW yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah peradaban dunia. Setiap saat kisah-kisah itu menimbulkan ruh baru bagi para pencari kebenaran. Dikala iman melemah, coba ulangi lagi kisah mereka sehingga akan timbul cahaya baru dalam relung jiwamu.
Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan segala kezuhudan dan kelembutannya. Namun dibalik semua itu akan kita temui komitmen yang kuat didalam jiwanya. Ingat ketika ia menjaga Rasul SAW di gua Tsur. Beliau rela digigit ular berbisa saat menjaga rasulullah agar tidur dengan nyaman di pangkuannya. Beliau mondar mandir didepan Rasulullah tatkala perjalanan ke Madinah lantaran khawatir akan keselamatan baginda. Pun, tatkala Rasulullah telah tiada, komitmen beliau dalam menumpas para pembangkang. Sehingga kita kenal ucapan beliau ketika Umar bin Khattab berpendapat agar orang-orang yang tidak membayar zakat dibiarkan berkeliaran. Beliau dengan tegas berkata bahwa jika mereka tidak membayar zakat maka akan diperangi.
Umar bin Khattab dengan segala ketegasannya. Ingat saat masa jahiliyah beliau adalah orang yang keras dan tegas. Dikala islam mengisi relung dada dan hatinya, ketegasan itu senantiasa ada namun dengan arahan yang bijaksana. Sehingga kita kenal ucapan beliau bahwa "Aku akan mengisi tempat-tempat yang maksiat yang pernah aku datangi dengan cahaya islam". Dengan ketegasan dan keberanian beliau, Syetan pun tak berani lewat dijalan yang akan beliau lewati.
Utsman bin Affan dengan sifat murah hati dan pemalunya. Beliau adalah hartawan yang dengan mudahnya mengeluarkan harta untuk jihad dan dakwah ilallah. Namun kita kenal juga kepribadian beliau yang sangat pemalu hingga malaikat pun malu dalam mencatat amal-amalnya. Subhanallah.
Ali bin Abi Thalib seorang pemuda yang gagah berani namun juga cerdas akalnya. Ilmunya luas karena sedari kecil telah dibimbing oleh sang Idola.

baca lanjutannya..

27 Februari, 2008

Apa memang itu obatnya ?


Tak urung, hati ini menjadi kurang enak tatkala melihat beberapa orang rekan main game. Ada sebuah penyesalan dalam bathin ini dengan tingkah laku yang demikian. Lebih parah lagi tatkala sholat isya' pun dilalaikan secara berjamaah diawal waktu. Kenangan seperti ini rasanya seperti menguak lagi masa-masa kelalaian dulu. Tak dapat dipungkiri, rata-rata manusia yang hidup dizaman akhir ini telah mencatat sejarah-sejarah masa kelam dalam dirinya. Baik itu masa kanaknya maupun masa remaja ataupun masa dewasanya. Karena ada titik balik yang diberikan Allah Swt maka sebagian dari mereka kembali menata hidup yang tersisa. Untuk kembali mengumpulkan ketertinggalan-ketertinggalan yang berserakan.
Ada bermacam cara yang dilakukan orang ketika menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya. Masalah. Itulah penyebab mengapa mereka lakukan.
Salah satunya mungkin adalah seperti yang dilakukan beberapa orang rekan ana ini. Bermain game. Wajar saja, sebagai cara pelampiasan mereka akan masalah yang dihadapi. Namun, menurut ana menjadi tidak wajar ketika permainan itu menjadikan mereka lupa akan tugas dan fungsi mereka sebagai hamba Allah swt yang mengakui Allah adalah segalanya. Perintah Allah swt adalah diatas semua perintah yang ada.
Sejujurnya, ana juga pernah terseret dengan permainan game komputer. Hingga larut malam, ana duduk didepan komputer untuk menyelesaikan setiap tahapan permainan yang disajikan. Namun setelah dipikir lebih jauh, ada banyak kerugian yang kita alami. Diantaranya, waktu luang yang sia-sia, listrik, istirahat menjadi kurang, mata yang menjadi lelah atau bahkan sakit lantaran jika bermain game kita senantiasa mempelototi monitor tanpa berkedip.
Ada banyak alasan beberapa orang rekan ana ketika diprotes tentang hobbynya bermain game. Hiburan, menghilangkan kebosanan, adanya strategi dalam game, hingga keinginan untuk mengembangkan analisa. Subhanallah, kedengarannya memang indah dan bagus. Tapi, ana pikir lagi ..... Apa memang itu obatnya ya ... ?
Kala sedih atau bosan, ana terkadang melampiaskannya dengan baca Al Qur'an. Rasanya semakin enak tatkala emosi kita sedang goyah membacanya. Bahkan tatkala itu ada keindahan tersendiri dalam bahin ini. Ada kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Mungkin karena waktu itu kita betul-betul berharap dan dengan penuh ketundukan melampiaskan segala kegundahan hati.
Semoga saja mereka menyadari tentang game tersebut dan secara spontan menanyakan dalam dirinya ... Apa memang itu obatnya ?
Wallahu a'lam.

baca lanjutannya..

23 Februari, 2008

Taqwa

Kata yang mudah diucapkan tapi sebenarnya memiliki arti yang sangat dalam. Taqwa adalah tingkatan tertinggi dari prediket seorang Muslim. Allah subhanahu wa ta'ala telah menjanjikan kesenangan yang banyak bagi orang-orang yang telah mendapatkan prediket tersebut. Suatu ketika Umar bin Khattab pernah memberikan gambaran seperti apa taqwa tersebut, "Anda berjalan didalam gelap gulita sementara anda tahu bahwa dikiri kanan dan dijalan yang anda tempuh tersebut terdapat duri-duri penghalang".Subhanallah penggambaran yang sangat jelas. Itulah taqwa yang sebenarnya.
Ada banyak perbuatan yang kita telah lakukan dalam menempuh kehidupan yang fana ini. Terkadang kita melupakan bahwa suatu saat kita akan ditanya lagi akan perbuatan yang telah dilakukan. Allah swt Sang Pencipta akan memberikan penilaian dan keputusan terhadap setiap perbuatan itu. Disisi-Nya semua keputusan akan ditetapkan dan dengan keadilan-Nya maka semua makhluk tertunduk mendengarkan titah-Nya. Tidak satupun yang akan dirugikan. Amalan yang dilakukan akan dibalas sesuai dengan balasan yang pantas. Famayya'mal mitsqola dzaratin khairayyarah wa mayya'mal mitsqola dzarratin syarrayyarah. Tiada yang tersembunyi bagi-Nya.
Adakala kita menggunakan hak milik orang lain, padahal kita tahu tidaklah pantas kita menggunakannya tanpa seizin dari yang empunya. Adakala kita menggunakan fasilitas yang dimiliki ummat, padahal belum ada izin untuk kita memanfaatkannya. Sudahkah kita bermuhasabah dengan kondisi ini. Bisa jadi karena inilah, do'a-do'a yang kita panjatkan kehadirat Allah swt tidak diijabah-Nya. Sudah tidak logis bukan ? ketika kita meminta sesuatu kepada Allah Rabbul izzati sementara disisi lain kita mengabaikan hak orang lain dan bermaksiat terhadapa Allah swt. Mari kita semua bermuhasabah, menghisab diri dan kemudian tertunduk dengan ketundukan yang dalam kepada Sang Maha Pencipta.
Allahummarhamna ya Rabb.....

baca lanjutannya..

09 Februari, 2008

Sensitifitas terhadap dosa

Hari ini ana diingatkan lagi oleh ustadz untuk kembali mengoreksi diri. Ada kesalahan apakah yang telah diperbuat hari ini ? minggu ini ? atau bulan ini?. Begitu banyak dan panjang jalan yang telah dan akan kita lalui. Sejauh ini, sudah seberapa banyak kita memuhasabahi diri kita terhadap setiap amal yang telah kita lakukan ?. Momentum hijrah yang telah berlalu satu bulan apakah sudah cukup membuat diri kita benar-benar hijrah dari perilaku jahiliyah kepada perilaku islami? Ini patut menjadi renungan bagi kita semuanya. Alangkah merugi kita tatkala setiap detik yang kita lalui dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan kosong yang tak memiliki makna apapun terhadap akhirat kita. Bahkan bisa jadi bermakna jelek. Naudzubillahi min dzalika.
Adakah hari-hari yang kita lalui ini menjadi hari yang berdaya guna untuk mengubah diri kita kearah yang lebih baik? tentunya kita sendirilah yang lebih tahu.
Terkadang kita merasa do'a-do'a yang kita mohon kan kepada Allah swt tidak jua kunjung terkabul. Padahal kita sudah memohonkan dengan ketundukan yang dalam kepadanya. Ada apakah gerangan ?
Disaat seperti inilah kita seharusnya menilik kebelakang lagi. Ada banyak ibroh yang dapat kita petik dari kehidupan para shalihin. Kita patut berkaca pada salah seorang dari mereka, Tatkala kendaraan yang ditumpanginya tiba-tiba tidak patuh maka dengan segera ia memuhasabahi dirinya. Dosa apakah yang telah ia lakukan sehingga kendaraan tersebut tidak patuh lagi. Mungkin bagi kita tidak patuhnya kendaraan atau mogoknya itu sudah biasa. Tidak ada masalah. Kita bisa jadi beralasan bahwa sudah saatnya mungkin ia mogok karena selama ini digunakan. Tapi tidak wahai saudaraku, sang hamba Allah tersebut ternyata membalikkan kepada dirinya. Adakah perbuatan yang salah yang telah saya lakukan terhadap Allah swt sehingga kendaraan ini menjadi mogok?. Betapa sensitifnya mereka dengan dosa.
Pun ketika kita lihat tokoh Fiqih yang namanya harum dengan karya-karya beliau yang monumental, Imam Syafi'i. Saat hafalannya bermasalah, beliau menanyakan kepada ibunya tentang makanan yang telah diberikan oleh ibunya kepadanya. Ketika sang ibu memberitahu bahwa makanan yang diberikan kepada beliau adalah makanan yang ia dapatkan disalah satu tempat yang kurang jelas. Maka dengan serta merta beliau memuntahkannya dan mengingatkan ibundanya, jikalau ingin sang ibu menjadikannya ahli fiqih maka ibu harus memberikan makanan yang halal dan jelas kepadanya. Beliau meminta ibunya segera mendatangi tempat beliau mendapatkan makanan tersebut dan meminta kerelaan yang empunya. Betapa teladan ini begitu indah.
Abu Bakar Ashshiddiq Ra, setelah meminum susu yang diberikan oleh budaknya menanyakan darimana budak tersebut mendapatkan susu tersebut. Tatkala sang budak menjelaskan bahwa susu tersebut berasal kambing yang tak jelas asal muasalnya, serta merta beliau memasukkan jarinya kedalam kerongkongannya sehingga susu yang sudah ditelan tersebut termuntahkan lagi.
Ya Allah inilah potret generasi pertama Islam yang penuh dengan mutiara keteladanan. Adakah teladan ini bisa kami ikuti ditengah galaunya kehidupan kami? Sungguh keteladanan yang begitu indah, begitu hinanya diri ini dihadapan-Mu ya Allah. Kami malu pada mereka yang telah dengan ikhlas memegang dengan kuat risalah-risalah rasul-Mu. Ya Allah, tanamkan dalam diri ini keimanan yang menghunjam. Jadikan diri ini hamba-Mu yang senantiasa merasakan pengawasan dari-Mu. Hamba yang senantiasa memiliki sensitifitas terhadap dosa-dosanya. Amin ya Rabb.

baca lanjutannya..

20 Januari, 2008

Kisah Cinta yang Mengharu Biru (True Story)

jadi terharu nih, baca kisah ini. copaste dulu di blog agar nanti bisa dibaca lagi ....

"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.
.." Kisah Cinta yang Mengharu Biru (True Story)
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du.
Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.

"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.
Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.
Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.
Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk
3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya."
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.
Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba Bukan karna ketiadaan kata-kata Tapi karena kupu-kupu kelelahan Akan tidur di atas bibir kita Besok, oh cintaku... besok Kita akan bangun pagi sekali Dengan para pelaut dan perahu layar mereka Dan akan terbang bersama angin Seperti burung-burung

Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!

"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

from : http://www.tempakul.com/showthread.php?t=520
or http://ummhani.blogspot.com/2006/11/kisah-cinta-yang-mengharu-biru-true.html

baca lanjutannya..

12 Januari, 2008

Do'a Sayyid Qutb

"Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu Ya Allah, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, agar aku tidak terjatuh dalam jurang cinta semua. Ya Rabbi, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu. Ya Rabbal Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu. Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu. Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu. Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu. Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu. Ya Allah Engkau mengetahui bahawa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Kokohkanlah Ya Allah ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu." (As-Syahid Sayyid Qutb) ana ambil dari blog ini http://fit3nan.wordpress.com/

baca lanjutannya..