12 Juli, 2009

Boleh tidak duduk seperti itu ?

"Uda, buliah ndak akahawat duduak mengangkang kalo ba honda ?". Pertanyaan itu muncul dari mulut adik ana yang juga seorang akhawat saat ana bonceng. Tak tahu ana mau jawab seperti apa. Permasalahan ini memang cukup rumit bagi ana sendiri. Karena ketika ana tanya kepada salah seorang ikhwah, beliau menyampaikan bahwa zaman dulu aisyah dan sahabat wanita lainnya juga pernah naik kuda. Jika naik kuda tentunya mereka duduk seperti itu juga. Wallahu a'lam, apakah hal itu benar atau tidak. Dan itu bisa dijadikan sebuah dalil atau tidak, ana kurang tahu. Dengan singkat kemudian ana jawab ," boleh, tapi kurang ahsan." hanya kalimat itu yang sanggup ana tuturkan dan tidak ana rinci lebih jauh.
Dalam pikiran ana berkelebat puluhan bahkan mungkin ratusan kejadian tentang representasi sang da'iah yang dibonceng dengan honda dan duduk sebagaimana layaknya kaum perempuan kebanyakan (duduk seperti laki-laki). Cara duduk, yang sudah biasa dan terlalu biasa bagi masyarakat kita dengan berbagai kondisi dan keadaannya. Ada alasan-alasan tertentu bagi mereka untuk duduk seperti itu saat dibonceng. Dan tentunya pada sebagian kasus kita memahami. Misalkan saja untuk bepergian jauh, ini alasan yang cukup kuat agar hal tersebut bisa dilakukan. Anak banyak, ini juga punya alasan yang kuat. Dan ana juga sependapat jikalau itu boleh dilakukan. Namun, yang ana tak habis pikir adalah perjalanan dalam kota, dan anak satu orang. Untuk alasan apa ya? Ah, biarlah mungkin ia punya alasan lain yang diluar itu dan kuat.
Tapi bagi kita yang belum pernah melakukannya ataupun yang sudah pernah melakukannya, maka hendaklah kita juga mengingat akan peran dan fungsi kita sebagai seorang perubah di masyarakat. Akan contoh dan teladan yang kita berikan. Jangan sampai nantinya masyarakat menjadikan kita sebagai rujukan untuk melakukan hal yang demikian kemudian dengan santainya kaum ibu duduk ( mangangkang ) saat dibonceng dan berkata ," ustadzah ...... saja seperti ini kok." Nah ........

Dulu waktu kecil, tak pernah tampak oleh kita cara duduk seperti itu. Namun belakangan di masayarakat hal demikian sudah menggejala. Ana pernah berpapasan dengan salah seorang ibu yang memakai sarung dibonceng oleh seseorang perempuan sambil duduk seperti itu. Dulu, juga amat jarang dan bahkan tak pernah nampak seorang akhawat atau ummahat yang dibonceng dalam kota dalam posisi duduk seperti laki-laki. Namun, saat ini kita bisa melihat. Dan bahkan tak perlu jauh-jauh mencarinya. Naudzubillah. Semoga kita tidak salah langkah nantinya dengan membiarkan hal demikian menggejala di masyarakat kita. Masih banyak tugas kita yang lain.
wallahu a'lam. Ana coba browsing dan ana mendapat sebuah pituah yang bijak dari Pitaruah ayah :

.......

Adopun nan dimukasuik jo kato sumbang, iyolah suatu laku perbuatan, nan buruak tacacek tarcalo, tapi alun sampai kapado salah. Kato padanan dari sumbang yaitu jangga, senjang ataupun sonsang. Atau istilah populer masa kini “kurang etis”, bandel, norak jo urakan, kalau bahaso di pasaran, kurang aja indak baradaik, bak baruak harago tigo tali, mantiko… ha, ado sambuangannyo di ujuangnyo tu ah…na’udzubillah..

Nah… cubo ayah bilang ayah papakan :

Sumbang duduak. Duduak sopan bagi padusi iyolah basimpuah, bukan baselo cando laki-laki, nan paliang tacacek bana kalau mancangkuang jo mancongkong sabalah lutuik batagakkan bak gaek duduak di lapau. Kok duduak di bangku di kurisi, rapekkan paho arek2, manyampiang agak salayang, nyampang mamakai rok singkek, usahlah kaki ditindiahkan, nak jan tasimbah nampak sajo. Baitupun duduak di honda, dibonceang atau mambonceang, ijan mangangkang abih2, manjajok dipandang urang. Itu sumbang duduak.

.........


(diambil dan ditulis ulang dari kaset “Pitaruah Ayah untuk Remaja Putri” surahan Angku Yus Dt. Parpatiah)

Tidak ada komentar: