Gerakan Misionaris Membonceng di Kinali,Pasaman Barat, ibarat Duri dalam Daging.
Oleh : H Mas’oed Abidin
Semenjak tahun 1953 Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Tengah telah mengatur penempatan para transmigrasi dari luar Sumatera, yang umumnya dari Pulau Jawa dan Suriname, untuk ditempatkan didaerah Kecamatan Pasaman dalam lingkungan Kabupaten Pasaman.
Penempatan mereka diatas tanah-tanah ulayat penduduk Kecamatan Pasaman, berdasarkan penyerahan hak tanah oleh Ninik Mamak dalam negeri yang bersangkutan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman, dengan persyaratan-persyaratan yang tertentu (tertulis), diantaranya dicantumkan :
1. Penyerahan tanah diperuntukkan sebagai penampungan bagi warga negara Indonesia, yang berasal dari daerah lain (transmigrasi).
2. Bahwa mereka yang datang (para-transmigrasi) itu tunduk kepada ketentuan adat-istiadat yang berlaku ditempat mereka ditempatkan, dengan pengertian bahwa mereka yang datang (para-transmigrasi) itu dianggap sebagai kemenakan (dalam hubungan hukum adat yang berlaku, yang tentu saja adat Minangkabau yang beragama Islam).
Diatas dasar perpegangan ini, maka Ninik Mamak dalam Negeri-negeri di Kecamatan Pasaman telah menyerahkan tanah ulayat mereka kepada Pemerintah Daerah, sebagai berikut :
Sejak tahun 1953 tercatat penyerahan tanah ulayat masyarakat, antara lain pada bulan Mei 1953 sebagian Ulayat TONGAR AIR GADANG, Ulayat KAPAR (PD. LAWAS), dan tanggal 9 Mei 1953 Ulayat KOTO BARU (MAHAKARYA). Tahun 1961 - 26 September 1961 dari Ulayat KINALI BUNUT Alamanda, Kecamatan PASAMAN. Tahun 1964 - 25 April 1964, sebagian Ulayat KINALI LEPAU TEMPURUNG, Kecamatan PASAMAN. Tahun 1965, AIR RUNDING, Kenegarian PARIT Kecamatan SUNGAI BERAMAS. Tahun 1957, KOTA RAJA, Kenegarian PARIT Kecamatan SUNGAI BERAMAS. Terdahulu dari ini, yaitu di tahun 1953 telah terjadi pula penyerahan tanah DESA BARU sebagai daerah kolonisasi (transmigrasi) dalam kenegarian BATAHAN Kecamatan Sungai Beremaas.
Pada semua surat-surat penyerahan tanah-tanah tersebut disebutkan antara lain :
A.Untuk transmigrasi
B.Pendatang-pendatang (transmigrasi) tersebut menjadi kemenakan (dalam hubungan adat-istiadat), dengan menuruti adat-istiadat setempat (yang tentu saja beradat Minangkabau yang bersendi syara’ - agama ISLAM).
MASUKNYA TRANSMIGRASI KE PASAMAN
Periode tahun 1953 - 1956
Berdasarkan penyerahan tanah dari Pucuk Adat beserta Ninik Mamak dalam Kenegarian Kapar dan Lubuk Koto Baru Kecamatan Pasaman dan Kenegarian Lingkung Aur (Mei 1953), maka mulailah berdatangan para transmigrasi, yang terdiri dari :
Padang Lawas/Kapar …………. dari Jawa
Koto Baru/Mahakarya ……….. dari Jawa
Tongar/Air Gadang ………….. dari Suriname
Dalam surat penyerahan tanah kepada Pemerintah Daerah Pasaman yang diterimakan oleh Ketua Dewan Pemerintahan Daerah Kab. Pasaman (SJAHBUDDIN LATIF DT. SIBUNGSU) tercantum persyaratan antara lain ….”Orang-orang yang didatangkan itu untuk masuk lingkungan adat-istiadat dan Pemerintahan Kenegarian dimana mereka berdiam, (Kapar atau Lingkung Aur), sehingga berat sepikul ringan sejinjing dengan rakyat asli Kenegarian yang bersangkutan” [1]……….
Pada umumnya semua pendatang transmigrasi itu semuanya mengakui beragama Islam, sehingga pada waktu itu didatangkan guru-guru agama Islam mereka mengikuti dengan baik.
Pada masa ini hubungan antara orang-orang transmigrasi dengan penduduk asli dapat diper lihatkan dalam bentuk hubungan yang baik, dan kejadian itu berlangsung sampai akhir tahun 1956.
Periode tahun 1957 - 1960
Para transmigran yang pada mulanya mengaku beragam Islam itu, pada permulaan tahun 1957 ini ternyata didalamnya terdapat orang-orang Kristen yang menyelundup, seperti ditemui :
Padang Lawas/Kapar =
Koto Baru/Mahakarya = 26 Kepala Keluarga
Tongar/Air Gadang = 22 Kepala Keluarga
Pada tahun 1957 keluarga transmigrasi yang beragama Kristen sudah mulai melihatkan aktifitas dengan meminta kepada kepala Kantor Transmigrasi Seksi Kapar di Koto Baru untuk dapat mendirikan rumah ibadah umat Katholik didaerah tersebut. Pada tanggal 14 Nopember 1957 dengan surat edaran No. Bb./55/10 meminta kepada Kepala Negari Kapar dan Ninik Mamak Kapar untuk memberikan keizinan.
Pada tanggal 30 Nopember 1957, Kepala Negari Kapar (Dulah) bersama dengan Pucuk Adat (Daulat Yang Dipertuan) dan Ninik Mamak (Dt. Gampo Alam) yang dikuatkan oleh Alim Ulama (Buya Tuanku Sasak) serta Cerdik Pandai, mengirimkan pernyataan kepada Kepala Kantor Transmigrasi Seksi Kapar, bahwa “permintaan umatr Katholik tersebut didalam lingkungan ulayat (tanah adat) Koto Baru dan Kapar tidak diizinkan (tidak dibolehkan)”.
Diantara alasan-alasan yang dikemukakan :
“a. Agama Katholik adalah tidak sesuai dengan Agama Islam, yang telah kami pakai dana amalkan.
1. Selanjutnya jikalau saudara-saudara dari warga transmigrasi didatangkan ke-ulayat tanah (adat) Koto Baru/Kapar Kecamatan Pasaman umumnya terlebih dahulu kami mengadakan rapat dengan Bapak Bupati Syahbuddin Latif Dt. Sibungsu beserta DPD Kab. Pasaman Abd. Munir Dt. Bandaro Bara, Haji Latif, Rusli, Wedana A.I. Dt. Bandaro Panjang dan Camat Dt. Jalelo, dihadapan Ninik Mamak Koto Baru/Kapar Air Gadang dan Buya Tuanku Sasak cucu kemenakan kami Ninik Mamak dalam Kecamatan Pasaman. Umumnya dengan kata lain, akan tunduk dibawah adat dan agama, yang telah kami pakai dari nenek moyang kami.
2. Diwaktu peresmian (penyerahan) saudara-saudara warga transmigrasi sudah ada Bapak Gubernur Ruslan Mulyoharjo telaha memberi nasehat kepada seluruh warga transmigrasi, supaya mereka menyesuaikan dengan masyarakat disini. Pepatahnya “dimana tanah diinjak disitulah langit dijunjung”, adat diisi lembago dituang, arti kata mereka disini menurut adat dan agama yang telah ada.
3. Dengan perjanjian inilah baru kami terima saudara-saudara itu, menjadi cucu anak kemenakan kami dan duduk didalam ulayat adat kami.
4. Andai kata kalau tidak sesuaidengan perjanjian itu istimewa akan mendirikan, agama selain agama Islam tidak diizinkan, mungkin mendatangkan kejadian yan tidak diingini, apalagi ia untuk mendirikan satu rumah teruntuk kepada rumah Katholik (buat beribadah umatr Katholik).
5. Kami segala pemangku adat, alim-ulama, cerdik-pandai tetap kami tidak setuju, apalagi negeri kami ini dusun, bukanlah kota, kalau dikota kami tidak berkeberatan sedangkan masyarakat Transmigrasi sudah menurut adat, dan berkorong berkampung ………….”.[2]
Pernyataan masyarakat dan Pemangku Adat beserta Pemerintahan Negeri Koto Baru yang tegas dan keras ini, menyebabkan usaha Kristen tersebut tidak memperlihatkan gerak yang aktif sampai dengan tahun 1960.
Periode Tahun 1961 - 1962
Pada tanggal 26 September 1961, Kerapatan Adat Negari Kinali, yang ditanda tangani oleh 27 orang Ninik Mamak dan 3 orang Alim Ulama serta 3 orang Cerdik-pandai yang mewakili 100 orang anggota kerapatan, atas nama seluruh penduduk Kinali, mempermaklumkan rencana Pemerintah mengenai penempatan orang Transmigrasi dalam daerah Kinali, dan menyerahkan sebidang tanah untuk penampungan itu kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia tanpa ganti rugi, dengan batas-batas :
….” 1. dari muara Batang Pianagar ke Pangkalan Bunut
2. dari Pangkalan Bunut sampai kemuara Sungai Balai
3. dari Muara Sungai Balai sampai ke tanda Batu (sepanjang 1 Km),
4. dari tanda batu sampai kekampung Barau,
5. dari kampung Barau ke kampung Teleng,
6. dari Basung Teleng, sampai ke muara Batang Tingkok
7. dari muara Batang Tingkok ke muara Batang Timah,
8. dari muara Batang Timah kanan hilir Batang Masang sampai ke Aur Bungo Pasang,
9. dari Aur Bungo Pasang ke Muaro Batang Bunut,
10. dari Muaro Batang Bunut ke Muaro Batang Pianagar” ….[3]
Penyerahan tanah tersebut dikuatkan dengan syarat, bahwa, “orang-orang transmigrasi itu adalah sama-sama warga negara yang pada azasnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli negeri Kinali ter hadap Pemerintah dan ada-istiadat setempat”[4].
Sehubungan dengan penyerahan tanah ini, maka Gubernur Kepala Daerah Prop. Sumatera Barat (Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa) mengeluarkan surat pernyataan tgl. 30 September 1961 No. 62-Trm-GSB-1961 untuk menjamin penyelenggaraan transmigrasi sebaik-baiknya dalam daerah Sumatera Barat, dan dalam keputusan angka 4 menyatakan:
…..”4. Orang-orang bekas transmigrasi diwajibkan men taati segala peraturan umum dan daerah serta adat-istiadat setempat”.[5]
Pada tahun 1962, kedaerah Lepau Tempurung/Kinali didatangkan transmigrasi (warga transmigrasi) yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang kesemuanya menyatakan beragama Islam, yang dapat diterima sesuai dengan adat-istiadat penduduk setempat.
KEDATANGAN MISSI ASING
MENOPANG GERAKAN SALIBIYAH
Periode tahun 1963 - 1966
Rupanya sudah diatur dari tempat asal warga transmigrasi, bahwa untuk Sumatera Barat, pertama-tama harus menyatakan beragama Islam walaupun sebenarnya didalam rombongan transmigrasi itu ter dapat pula orang-orang yang beragama Katholik sebagai selundupan.
Pada tahun 1963, mulai berkunjung kedaerah transmigrasi Pastor dari Padang, dengan maksud meninjau dan melihat keadaan perkembangan orang-orang transmigran di TONGAR dan KOTO BARU (Mahakarya).
Kunjungan itu pada mulanya tidak menjadikan kecurigaan dan perhatian yang serius dari masyarakt setempat, sehingga kedatangan-kedatangan Pastor dari Padang (Keuskupan Padang) berlanjut setiap tahun sampai tahun 1966, dengan mendatangi rumah-rumah keluarga-keluarga yang beragama Katholik yang tersembunyi.
PASAMAN (1953 - 1974)
Selama 21 tahun sebagai daerah TRANSMIGRASI dan sasaran operasi SALIBIYAH, ibarat duri dalam daging
U M U M
Kabupaten Pasaman di tahun 1974 adalah Kabupaten yang terletak berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli/Sumatera Timur (ujung Utara dari Sumatera Barat).
Luasnya : 764.000 H.A, Penduduk : 285.000 Jiwa, terdiri dari : 8 Kecamatan (termasuk Perwakilan Camat di Panti), dengan jumlah Nagari : 51 buah .Penduduk dari Kabupaten Pasaman ini terdiri dari : a. Asli Minang : 77 % = 220.000 Jiwa, b. Tapanuli : 25 % = 45.000 Jiwa, c. Jawa : 8 % = 20.000 Jiwa.[6]
Agama,
(a).Asli Minang, 100 % beragam Islam,
(b).berasal dari Tapanuli, pada mulanya datang dengan pengakuan beragama Islam, terakhir di Panti ditemui banyak yang beragama Kristen/Katholik/HKBP, dan,
(c).Asal Jawa, pada mulanya datang dalam rombong an transmigrasi terdaftar beragama Islam, akan tetapi ke nyataannya di Koto Baru dan Kinali terdapat pula penganut Katholik sebagai pendatang-pendatang yang diselundupkan dalam rombongan transmigrasi dan merupakan basis bagi Kristenisasi di Pasaman.
Mata Pencaharian Tani dan dagang sebagai mata pencaharian sambilan dan Sedikit sekali buruh.
KEHIDUPAN KE-AGAMAAN
Kehidupan ke-agamaan Penduduk Kabupaten Pasaman, dapat dikategorikan:
A. I S L A M
Pada umumnya penduduk asli beragama ISLAM
B. KRISTEN
PANTI RAO
1. H.K.B.P (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN) di Panti, sebanyak 200 orang
2. Katholik di Panti Rao, berjumlah 60 orang
3. Advent/Pantekosta di Panti/Rao, sebanyak 25 orang
4. Bethel Indonesia
KECAMATAN PASAMAN
Katholik [7]
1. Mahakarya Koto Baru, 90 Kepala Keluarga
2. Sumber Agung /Kinali , 15 kepala Keluarga
3. Alamanda/Bunut Kinali, 17 kepala keluarga
Protestan
1. Kinali, terdapat 3 Kepala Keluarga
2. Tongar, sebanyak 7 Kepala Keluarga
Padahal sebelumnya di daerah Pasaman ini seluruh penduduknya beragama Islam.
GEREJA
1. Kampung II Mahakarya Koto Baru,
· Gereja Katholik KELUARGA KUDUS
2. Alamanda/Bunut Kinali,
· Gereja Katholik
3. Sumber Agung/Kinali,
· Gereja Protestan/Pantekosta [8]
1. Panti :
· Gereja H.K.B.P. Panti
· Gereja Katholik Panti
· Gereja Advent/ Pantekosta dan Bethel Indonesia
RUMAH-RUMAH GURU INJIL
Kinali dan Koto Baru sebanyak 9 buah. [9]
USAHA MISSIONARIS SALIBIYAH
A. Mendirikan Sekolah-Sekolah Dasar (S.D) dibawah pengawasan YAYASAN PRAYOGA PADANG dan proyek Keuskupan Padang/Pastoran Katholik Pasaman :
1. Kampung I Mahakarya,Koto Baru, 1 buah = 350 murid [10]
2. Sumber Agung Kinali, 1 buah = 150 murid. [11]
3. Alamanda , 1 buah = 140 murid. [12]
4. Pujorahayu , 1 buah = 110 murid
5. O p h i r, 1 buah = 100 murid. [13]
6. P a n t i , 1 buah = 190 murid.[14]
7. Panti H.K.B.P, 1 buah = 90 murid [15]
Balai PENGOBATAN
1. Koto Baru (Maha Karya).[16]
2. Lain-lain tempat dengan cara kunjungan ke-rumah-rumah
3. Panti (dalam perencanaan oleh Katholik.
MENDIRIKAN S.M.P
1. Koto Baru/Mahakarya
2. Panti.
PENDUDUK ASAL PENGANUT AGAMA
1. Protestan (H.K.B.P)
· di Panti, pendatang dari Tapanuli
2. Katholik
· di Panti, pendatang dari ………. Tapanuli
· di Koto Baru dan Kinali, transmigrasi Jawa/Suriname
3. Protestan (G.P.I.B)
· di Kinali, Pendatang dari Tapanuli
PASTOR DAN PENDETA
1. Koto Baru dan Kinali (PASTORAN KATHOLIK PASAMAN) berpusat di Mahakarya/Koto Baru Simpang III Kecamatan Pasaman.
a. Pastor Corvini Filiberto - berdiam disini selama 10 tahun asal Italia, Kepala Pastoran Katholik Pasaman.
b. Pastor ZANANI, datang ke Pasaman tahun 1972, merangkap sebagai “dokter” pada Balai Pengobatan Keluarga Kudus Simpang III Koto Baru (ITALIA)
c. Pastor Monaci Ottorino , mewakili Pastor Corvini Filiberto, penghubung tetap dengan Uskup Bergamin S.X., asal ITALIA, dan bertugas mengkoordinir sekolah-sekolah Katholik di Pasaman antara lain S.D. Setia Budi (Ophir), S.D. Keluarga Kudus (Koto Baru/Mahakarya) dan S.D. Teresia (Panti).
2. Katholik di Panti, selalu didatangi dan diawasi oleh Keuskupan Padang.
3. Bethel Indonesia dan Pantekosta Panti, Pendeta di kun-jungi dari Brastagi (Tapanuli Utara).
4. Protestan (H.K.B.P) di Panti, Pendetanya dari Tapanuli (Padang Sidempuan/Pematang Siantar).
KRONOLOGIS
GERAKAN SALIBIYAH PASAMAN
PANTI
1. Sebelum tahun 1950
Antara Panti dan Rao, sepanjang 20 Km dan Lebar 5 Km kiri kanan jalan raya Medan - Bukittinggi, ditahun-tahun sebelum 1950 adalah merupakan daerah hutan belukar besar. Pada beberapa tempat, disela-sela oleh dusun-dusun/kampung-kampung kecil dan ditempati penduduk asli Minangkabau dengan adat istiadat Minang dan agama Islam.
2. Tahun 1952
Pada tahun ini mulai berdatangan penduduk asal Sipirok Tapanuli Selatan, dengan maksud mengolah tanah-tanah menjadi persawahan perladangan.
Dengan pengakuan tali hubungan adat yang berlaku, yakni “hubungan mamak dan kemenakan” sesuai dengan adat yang berlaku dan agama yang dianut (Islam), pendatang-pendatang mendapatkan tanah-tanah yang mereka butuhkan dengan surat menyurat secara baik.
3. Tahun 1953.
Oleh Ninik Mamak (Basa 15) diserahkan tanah ulayat seluas 20×5 Km kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman, untuk kemudian dengan diatur oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman sebagai tempat penampungan pemindahan penduduk dari daerah-daerah lain diluar Kab. Pasaman dengan surat-surat yang lengkap. Salah satu persyaratannya ialah mereka yang datang itu langsung menjadi “kemenakan” dari Ninik Mamak Panti dan mengikuti adat-istiadat setempat.
Dengan demikian berbondong-bondonglah datang ke Panti penduduk asal Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, adakalanya kedatangan mereka diluar pengaturan pemerintah daerah, sehingga pada tahun 1956 sudah menjadi ramai dan hutan-hutan sudah dibuka jadi perkampungan dan persawahan.
4. Tahun 1957
Tanggal 1 Februari 1957, Kanun Simatupang (salah seorang pendatang dari Tapanuli tahun 1957) yang bertempat tinggal waktu itu dinegari Suka Damai Kecamatan Rao, telah menyerahkan sebidang tanah perumahan kepada Gerson Simatupang yang waktu itu bertempat tingal dinegeri Cengkeh Panti. Dalam penyerahan itu ditekankan sekali bahwa tanah itu tidak buat per-gerejaan.
Pada bulan Agustus 1957 itu terbetiklah berita diiringi dengan kegiatan penganut-penganut Kristen yang berdatangan dari Tapanuli untuk mendirikan gereja di Panti. Maka tanggal 5 Agustus 1957 itu 29 orang Ninik Mamak mewakili seluruh rakyat sekitar Panti mengirim pernyataan keberatan dengan berdirinya gereja dinegeri Panti, kepada Bupati KDH Kab. Pasaman. Dalam surat pernyataan itu diingatkan kembali peristiwa yang terjadi tahun 1956, yakni keluarnya seluruh rakyat Rao mapat Tunggul menuju Panti sebagai protes keras dari berdirinya gereja tersebut, dan supaya kejadian ini tidak berulang kembali.
Pada tanggal yang sama (5-8-1957), pernyataan Ninik Mamak Panti itu dikuatkan oleh Ninik Mamak dan Anggota DPRN Panti yang ditanda tangani oleh 19 orang Ninik Mamak dan Anggota DPRN yang ditunjukkan kepada Kepala kantor Urusan Agama Kab. Pasaman di Lubuk Sikaping dengan suratnya No. 001/1957 tgl. 5-8-1957 yang berisi keberatan berdirinya gereja dalam tanah ulayat Panti.
Namun walaupun demikian, Gerson Simatupang yang pada bulan Februari 1957 telah menerima tanah dari Kanun Simatupang dengan persyaratan tidak untuk pendirian gereja, sebenarnya sejak semula telah berniat bahwa diatas tanah itu nantinya akan dibangun secara berangsur-angsur gereja HKBP untuk Panti. Dan niatan/rencananya ini terbukti, dengan peristiwa-peristiwa yang mengiring kegiatannya dan kawan-kawannya yang beragama Kristen yang telah menyelusup ke Panti.
Pada tanggal 17 Agustus 1957 telah datang ke Panti pimpinan Gereja Protestan terdiri dari 1.E. Manalu dari Kantor Urusan Agama (Bhg. Kristen/Protestan) sum. Tengah di Bukittinggi, dan 2. Dominos A. Ritonga (Kepala Gereja HKBP Wilayah Tapanuli Selatan) dan 3. Wilmar Pohan Situa (Imam Gereja di Padang Sidempuan), dalam pengurusan berdirinya Gereja di Panti. Rencana sesungguhnya ialah untuk memulai upacara sembahyang di Gereja Panti pada hari Ahad tanggal 18 Agustus 1957, yang menyebabkan timbulnya kemarahan penduduk Panti, dan akhirnya pada tanggal 19-8-1957 rombongan tersebut berangkat meninggalkan Panti menuju Padang Sidempuan mengingat faktor-faktor keamanan.
Pada tanggal 24 Agustus 1957, Gerson Simatupang, B. Hutapea, T. Hutabarat dan M. Pasaribu atas nama seluruh warga Panti yang beragama Nasrani dan adalah Panitia Pembangunan Berdirinya H.K.B.P. Panti Rao telaah mengirim surat permohonan kepada Bupati/Kepala Pemerintahan Kab. Pasaman di Lubuk Sikaping, yang isinya meminta izin mendirikan Gereja H.K.B.P. di Panti.
Peristiwa diatas menyebabkan kemarahan masyarakat dan Ninik Mamak Panti, yang menilai sebagai suatu pelanggaran dari perjanjian pertama bahwa tanah-tanah yang diolah di Panti tidak dibenarkan untuk mendirikan bangunan-bangunan Kristen apalagi Gereja.
Pada tanggal 8 September 1957 Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Pemuda-pemuda dan Sukadamai mengadakan rapat bersama dan memberikan keputusan bahwa orang-orang yang mungkir janji dari perjanjian pertaama sewaktu mula datang kedaerah Panti, harus meninggalkan kampung Panti dalam tempat satu minggu; dan putusan Ninik Mamak ini dikuatkan oleh Wali Negari Panti (Dt. Bagindo Sati) dan juga ditanda tangani oleh orang-orang yang telah melanggar janji tersebut (Jabalingga dkk).
Lebih tegas lagi, pada tanggal 16 Oktober 1957 Bupati KDH Kab. Pasaman (Bupati Marah Amir) mengeluarkan surat No. 6448.b/VIII/3 sebagai balasan dari permohonan Panitia Pembangunan Gereja HKBP Panti yang berisi “Tanah tempat mendirikan Gereja itu masih dibebani dengan hak-hak tanah yang tunduk kepada Hukum Adat (persoonlijke-rechten), dalam hal mana kerapatan adat Negari Panti pada tgl. 11-9-1957 telah memberikan pernyataan dengan putusan, bahwa mereka sangat keberatan serta tidak mengizinkan mendirikan Gereja di Panti;” sebagai pertimbangan-pertimbangan lain”, untuk menjaga keamanan”, bersama ini kami sampaikan kepada saudara, bahwa smentara waktu ini kami sampaikan kepada saudara, bahwa sementara waktu kami tidak dapat mengabulkan permohonan saudara itu untuk mendirikan Gereja di Panti“.
Selanjutnya bertubi-tubi pembelaan yang datang dari Pendeta-pendeta HKBP dari Sipirok (Tapanuli Selatan) dan dari Padang, tetapi Pemerintah tetap berpendirian pada melarang untuk/demi keamanan pada umumnya.
5. Tahun 1962
Pada tanggal 28 Agustus 1962, Bupati KDH Kab. Pasaman (Djohan Rivai) memanggil Catur Tunggal Kab. Pasaman, Kepala-kepala Kantor dalam Lingkungan Dep. Agama di Kab. Pasaman, Anggota-anggota DPRD-GR Kab. Pasaman dan Tokoh-tokoh Partai Politik dalam Daerah Tk. II Pasaman, untuk membicarakan “permohonan umatr Katholik untuk mendirikan gereja didaerah Kab. Pasaman”.
Rapat yang diadakan di Kantor Kogem Lubuk Sikaping itu, menyimpulkan pendapat-pendapat beberapa putusan, antara lain :
a. Bahwa perjanjian-perjanjian dengan Transmigrasi dahulu hanya yang beragama Islam;
b. Untuk mencapai keamanan, sementara pendirian gereja dll sebagainya ditangguhkan.
Sebagai realisasi dari keputusan rapat tersebut, maka pada tangal 8 September 1962 Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tk. II Pasaman (Baharoeddin Saleh) mengirimkan surat kepada Catur Tunggal Kab. Pasaman, yang berisi menguatkan putusan tgl. 28-8-62 bahwa “belum dapat menyetujui permohonan umatr Katholik hendak mendirikan Gereja dan lain-lain sebagainya didaerah Kabupaten Pasaman ini ….”.
Pendapat inipun disampaikan pula kepada kepala kantor Urusan Agama Daerah Tingkat I Sumbar di Padang (No.47/R/A.I/1-62 tgl.10-9-1962), dan sebagai bahan pertimbangan diingatkan kembali peristiwa terganggunya keamanan di Panti yang pernah terjadi tahun 1956 dan 1957.
Maka pada tgl. 1 Oktober 1962, dengan surat No. 289/R/R.I/1/62, kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tingkat I Sumbar di Padang (d.t.o, H. DJAMALOEDDIN), memberikan penggarisan sbb :
….” Maka dari itu demi untuk menjaga persatuan Nasional dan keamanan serta ketertiban umum dan tidak mengurangi perhormatan kepada Dasar Negara Pancasila dan kebebasan beragama, maka kami berpendapat seperti berikut :
a. Kami dapat menyetujui putusan rapat Pasaman tgl. 28-8-1962
b. Akan mendatangkan kerugian besar bagi kaum beragama dan bagi daerah itu sendiri kalau Gereja didirikan dalam daerah itu ….”.
Walaupun demikian, pembelaan dari pihak Gereja H.K.B.P dan protes dari penduduk setempat, dan kadang-kadang memanas sampai terjadi perkelahian-perkelahian dan terpaksa dihadapi oleh aparat-aparat pemerintah dan alat-alat negara.
Pada tahun 1962 ini, jumlah jemaat H.K.B.P. nyata sekali bertambahnya yang berdatangan dari Tapanuli, sebagai daerah yang berbatasan dengan Panti, diantaranya gerakan mereka ditopang oleh alat-alat negara yang beragama Kristen/H.K.B.P. Sehingga tanpa mengindahkan larangan-larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman (baik Bupati, Camat maupun Wali negari Setempat) dan dengan kekerasan berdiri jugalah akhirnya Gereja H.K.B.P di Kampung Cengkeh Panti yang sudah menjadi persoalan sejak tahun 1956.
Pendirian Gereja H.K.B.P. di Panti ini, diatas tanah yang berasal dari milik AHAD Glr. TENGAH JALO (tinggal di Kampung Sungai Jantan Panti) yang dijualnya kepada KANUN SIMATUPANG (asal Tapanuli, tinggal di Kampung Air Tabit Panti) berupa sebidang kebun kulit manis seluas 41 M5, dengan surat jual beli tanggal 24 Desember 1953, tanah mana yang terletak di hilir pasar Panti yang juga dikenal Kampung Cengkeh Panti. Kemudian pada tanggal 1 Februari 1957 menyerahkan tanah tersebut kepada Gerson Simatupang sebagai tanah untuk perumahan dan tidak boleh untuk tempat gereja, akan tetapi pada tanggal 28 Agustus 1957 Gerson Simatupang cs (yang nyatanya adalah missi kristen dari HKBP) mengajukan permohonan kepada Bupati KDH Kab. Pasaman untuk mendirikan diatas tanah tersebut sebuah Gereja, yang ditentang oleh seluruh masyarakat dan pemerintah daerah, namun sampai sekarang (1974) tetap berdiri.
Sejak tahun 1952 disaat datangnya penduduk Tapanuli (Sipirok) ke daerah Panti, yang pada mulanya hanya yang beragama Islam saja, tanpa disadari oleh penduduk setempat pihak-pihak kristn berusaha mengirimkan orang-orangnya ke Panti, dengan berbagai cara dan tekanan, hingga sekarang dirasakan keretakan hubungan antara pendusuk asli yang umumnya beragama Islam dengan penduduk pendatang (Tapanuli) yang jumlah suda menjapai 70 % dari seluruh penduduk Panti. Sungguhpun diantara pendatang-pendatang itu banyak juga yang beragama Islam dengan memegang teguh perjanjian dengan Ninik mamak Panti (1953) , namun kerukunan sedarah dan sedaerah adalah merupakan peluang yang baik dan menjadi landasan yang kuat bagi berkembangnya Kristen/H.K.B,P di panti khususnya.
6. Tahun 1973
Tahun ini berdiri suatu kampung ditepi Sungai Sampur Panti, dengan nama KAMPUNG MASEHI. Diatas tanah yang diserahkan oleh Ninik Mamak; Panti dahulunya kepada keluarga pendatang dari Tapanuli juga yang pada mulanya seluruhnya beragama Islam. Namun kemudian diketahui (1973) bahwa diantara penduduk itu terdapat 50 buah rumah jemaah kristen dan merekalah yang memberi nama kampung tersebut Kampng Masehi.
Pada tahun 1973 ini mereka mengajukan pula permohonan kepada Pemerintah Daerah Kab. Pasaman untuk mendirikan gereja di Kampung Masehi (Gereja HKBP ke II). Seperti juga pada masa-masa yang telah berlalu Pemerintah daerah Kab. Pasaman tidak pernah memberikan keizinan disebabkan adanya protes dari segenap lapisan masyarakat dan penduduk (khususnya Panti), serta tidak memenuhi segala syarat-syarat diantaranya pembangunan gerja didaerah ini akan berakibat terhadap terganggunya keamanan dan kerukunan sesama penduduk yang telah terjalin selama ini.
Walaupun demikian, tanpa keizinan dari pemerintah daerah ini, namun pihak-pihak kristen (HKBP) tidak ambil peduli dan tetap bertindak mendirikan gerejanya. Kondisi ini selamanya akan merupakan duri dalam daging bagi masyarakat di Pasaman.
MASUKNYA KATHOLIK KE PANTI
Di samping jemaat Protestan/H.K.B.P (Huria Kristen Batak Protestan), terdapat pula beberapa diantaranya jemaat Gereja Katholik dibawah asuhan/pengawasan Keuskupan Padang, hal ini terbukti setelah berulang kali Pastor-pastor Katholik dari Keuskupan Padan secara teratur mengunjungi Jemaat Katholik di Panti.
Tahun 1970
Pada tanggal 10 Mei 1970, M.NICOLAS SINAGA (Katekis Katholik Panti) bertempat tinggal di Banjar II Kamp. Cengkeh Panti, mengajukan permohonan kepada Bupati/KDH Kab. Pasaman untuk mendirikan Gereja Katholik di Panti, yang menurut alasannya bahwa umatr Katholik di Panti sudah beranggotakan 14 buah Rumah Tangga, dan atas anjuran Uskup Padang supaya ditempat itu didirikan Gereja Katholik.
Gereja Katholik itu akan dibangun diatas tanah seluas 20 x 30 M dengan besar bangunan 6 x 12 M5 terletak di Kampung Cengkeh Panti, yang berasal dari tanah yang dikuasai oleh JANANGGAR HARAHAP yang bertempat tinggal di Kampung Cengkeh Panti, dan telah diserahkan hak penguasaannya kepada M. NICOLAS SINAGA pada tanggal 16 Januari 1970.
Pendirian Gereja ini tidak dibenarkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman, tetapi nyatanya Gereja itu berdiri juga. Sejak bulan Januari 1968, M. NICOLAS SINAGA telah pernah mengajukan permohonan yang sama kepada Camat Perwakilan Panti, yang pada waktu tidak dapat diladeni oleh Camat berhubung karena penduduk Panti tidak dapat menerima. Pada tanggal 28 Februari 1968 Perwakilan Dep. Agama Prop. Sumatera Barat (Bahagian Katholik) menguatkan disamping Gereja juga akan dibangun Poliklinik, Sekolah dan Tempat Peribadatan Katholik, dimana surat tersebut ditanda tanggal M.B. Simanjuntak (Perwk. Dep. Agama Prop. Sumbar).
Persoalan ini bertahun-tahun kemudian ber-kembang terus menjadi “kasus Pasaman” yang sampai sekarang terlah berlalu tiga dasawarsa masih belum terselesaikan.
Sejak tahun 1967, jauh sebelum riak gerakan salibiyah di Pasaman ini makin keras menghempas kehidupan kertukunan ditengah kehidupan umat Islam (khususnya di Minangkabau, dengan filosofi adat basandi syara’, dan syara’ basandi kitabullah.
Maka Dewan Dakwah meminta prakarsa dari Menteri Agama Republik Indonesia supaya sama-sama menjaga keutuhan masyarakat yang di ancam oleh kerasnya gerakan salibiyah ini.
Akhirnya, atas prakarsa Menteri Agama R.I, diadakan musyawarah antara pemuka agama di Jakarta. Pada pokoknya diusahakan supaya terpelihara kerukunan antar umat beragama.
Semua pemuka Islam yang hadir dalam musyawarah, 30 November 1967 di Jakarta itu, menyetujui saran pemerintah.
Sedang pemuka‑pemuka agama Kristen, baik yang Katholik maupun yang Protestan, menolak saran pemerintah itu. Dengan demikian, musyawarah gagal mencapai maksudnya.[17]
Barulah pada tahun 1969, pemerintah merasa perlu secara lebih bersungguh‑sungguh mengatur lalu lintas pergaulan antar umat beragama dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/MDN/MAG/1969 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran‑kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk‑ pemeluknya. Pada tahun 1978 disusul dengan Surat Keputusan Menteri Agama No. 70/1978 tentang pedoman penyiaran agama, Surat Keputusan Menteri Agama No. 77/1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.
Pasaman hari ini, diakhir tahun 1999, dalam menapak kemillenium ketiga, berkembang menjadi zamrud hijau ditengah Sumatera Barat. Berpuluh ribu hektar lahan, yang tadinya kosong dan rimba belanatara, telah dibuka menjadi perkebunan sawit.
Masyarakat pendatang dari luar yang tidak bisa dikontrol lagi. Baik yang bertalian dengan adat, keyakinan agama maupun moral kehidupan mereka. Gereja mulai tumbuh, penaka jamur dimusim hujan. Pendatang hidup sebagai buruh, pekerja dan penanam modal.
Dakwah menghadapi kenyataan ini, pasti akan timbul problematika dakwah baru, yang sangat global. Akankah, berhenti tangan mendayung ???.
Prioritas Dakwah Masa Datang
Hampir empat dasawarsa, dakwah mengalami masa-masa sulit mengembangkan aktifitasnya. Hambatan dan tekanan politik yang didominasi Islamo-phobis dan kalangan non Islam sangat meng-habiskan energi.
Kegiatan pemurtadan serta gelombang salibiyah mulai melanda berbagai daerah dengan makin deras. Infiltrasi budaya westernisasi ikut
pula me-ramaikan pasar merebut pengaruh, dan dirasa sangat membahayakan kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Kesemuanya, telah menjadi issu central yang memfokuskan kegiatan Dewan Da’wah. Terutama sejak awal berdirinya Dewan Da’wah, masalah kristenisasi sangat mengedepan.
Metoda yang sitemik amat diperlukan untuk menyadarkan umat akan bahaya kristenisasi. Gerakan salibiyah dapat mengancam aqidah dan kelanggengan kehidupan umat di Indonesia masa datang.
Penggalangan kekuatan dan persaudaraan Islam, didalam dan di luar negeri perlu pula mendapat perhatian yang intensif. Masalah ukhuwah tidak dapat diabaikan dalam geran dakwah.
Di saat cuaca sudah mulai berubah, peluang memang sudah semakin terbuka. Namun, sekejappun umat tidak boleh dibiar terlena dan lengah terhadap pihak yang tidak senang terhadap dakwah Islam. Mereka, tidak akan pernah berhenti untuk berupaya menyudutkan Islam dalam setiap propagandanya.
Fokus kegiatan Dewan Da’wah mengahadapi pergantian abad ini menjadi bertambah berat dengan bobot yang semakin besar.
Meningkatkan kualitas umat diberbagai bidang kehidupan agar mampu bersaing dan tampil dalam persaingan global, bukanlah merupakan kerja ringan dan sambil lalu. Mesti masuk dalam program terpadu, tanpa meninggalkan beban dakwah yang selama ini telah dipikul dan terarah kepada memikirkan umat dan para dhu’afak di daerah terpencil. Fokus dakwah mesti pula diarahkan kepada berbagai kalangan umat serta para intelektual yang akan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Kelompok intelektual dan aghniyak ini menduduki posisi kunci dalam kekuasaan, ekonomi maupun politik. Kontak langsung melalui lobby-lobby dengan metoda tepat, akan sangat berperan membantu membentuk umat berkualitas.
Mempererat hubungan persaudaraan dalam ta’awun dan tadhamun al Islamy menjadi sumber kekuatan dalam menggalang kerjasama di berbagai bidang kehidupan.
Ikatan-ikatan melalui program dakwah dengan lembaga Islam di dalam maupun di luar negeri, menjadi titik fokus yang tidak boleh diabaikan pula.
Meningkatkan kualitas ilmiah dan wawasan ke-Islaman, diantara para du’at amat berguna untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Mempersiapkan dan memperbanyak kader dari generasi penerus yang berkualitas menjadi warisan tugas dakwah.
Meningkatkan kerjasama dan konsolidasi dengan memper-kuat fungsi dan peran organisasi menjadi tuntutan yang tidak boleh terabaikan. Aktifitas nyata berawal dari gagasan dan warisan pemimpin umat berasas taqwa mewujudkan masyarakat yang diredhai Allah, dalam Kiprah Dakwah Komprehensif Menapak Alaf Baru. v
[1]dokumen tgl. 9 Mei 1953.
[2](kutipan dokumen Pemda Pasaman tgl. 30-11-1957).
[3](Kutipan dokumen kerapatan Adat Negari Kinali No. 01/KANK/1961 tgl. 26 September 1961, di atas meterai Rp. 3,- 1953).
[4] Ibid.
[5](kutipan dokumen pernyataan Gubernur KDH Prop. Sumbar tgl. 30 Sept. 1961 No. 62/Trm/GSB/1961 dari salinan M.J. Jang Dipertuan).
[6] Tahun 1974 itu, penduduk transmigrasi Asal Jawa tersebut tersebar di Kecamatan Pasaman - Kinali.
[7]Menurut catatan/Laporan Wali Negari Kotobaru Kecamatan Pasaman, Agustus 1973, jumlah penganut agama Katholik di daerah ini terdiri dari (1). Mahakarya ………… 342 orang, (2). Pujorahayu ……….. 17 orang, (3). Ophir ……………. 38 orang, (4).Jambak …………… 16 orang
[8] Padang tanggal 12-2-1974 jemaah Gereja Protestan Indonesia Bahagian Barat (G.P.I.B) telah mendirikan sebuah Gereja ukuran 5 x 9 Meter2 dengan nama GEREJA CINTA KASIH DALAM TUHAN.
[9] di Koto Baru ini terdapat pula Dewan Komisi Gereja Katholik Kab. Pasaman/Gereja Keluarga Kudus Pasaman dan di tempat ini pula Pastoran Katholik Pasaman dibawah pimpinnan Pastor Corvini Filiberto.
[10] Menurut laporan SDKK jumlah murid-murid SD ini bulan Januari 1974 sebanyak 55 murid dengan 17 orang Guru dibawah pimpinan Herman Sugiyono C.
[11] SD keluarga Kudus Sumber Agung, dibawah pengawasan Pastor Monaci Ottorino.
[12] Di desa Alamanda pada objek Transmigrasi Kinali Kabupaten Pasaman sejak tanggal 13 Mei 1965 s/d 11 April 1972 (selama 7 tahun) telah berdiri filial S.D. Kinali ( yang pada mulanya berstatus S.D. Katholik Bunut/Alamanda) dibawah pimpinan Slamet Haryadi, dengan jumlah Klas I s/d Kelas IV dan jumlah murid 140 orang.
Pada tanggal 11 April 1972 sekolah tersebut diresmikan menjadi S.D. Induk Negeri Alamanda dengan Keputusan Gubernur KDH Sumbar c/q tgl. 22 Maret 1972, dengan guru-guru sbb : 1. Sabiruddin (gol II/b) selaku Kepala Sekolah, 2. Slamet Haryadi (gol I/d), 3. Ismanto (gol. I/d), 4. Sutrisno (gol. I/d), 5. Sujatni (gol. I/d) dan Sumadi (ex SPG) sebagai tenaga sukarela). Peresmian sekolah ini dilakukan oleh pemegang Pim. Kabin P.D.P.L.B. Wilayah Kecamatan Pasaman.
[13] Di Ophir oleh Yayasan Prayoga Padang telah didirikan S.D Katholik pada tanggal 3-2-70 dengan nama S.D Sugio Pranoto, dan pada tanggal 27-9-71 diganti nama dengan S.D SETIA BUDI
Yayasan Prayoga, adalah suatu Yayasan yang langsung berada dibawah pengawasan Uskup Mgr. Raimondo Bergamin s.x.
[14] Di Panti, juga oleh Yayasan Prayoga Padang mulai tahun ajaran 1973, dengan pemberitahuan Pengurus Yayasan Prayoga Padang tgl. 21 Maret1973 No. 08/Pem/31/’73 yang ditanda tangani oleh A. Margono S.H. (Sekretaris Yayasan Prayoga Padang).
[15]Atas desakan Ninik Mamak dan Pemuka Masyarakat Panti, akhirnya sekolah tersebut ditutup.
[16] Balai Pengobatan ini diadakan di Pastoran Gereja Katholik Keluarga Kudus Simpang III Koto Baru Kecamatan Pasaman dibawah pimpinan Pastor (sekaligus merangkap dokter) ZANANI.
[17](Dr.Anwar Haryono SH, “Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, Cetakan Pertama, Jakarta Rabi’ul Akhir 1416 H/Agustus 1995, Hal 198 ‑ 199).
Sepekan, usul zakat untuk MBG hingga aksi wujudkan Astacita keenam
49 menit yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar